GRII Kebon Jeruk, 2 September 2018 | Vik. Edward Oei
Matius 5:6 “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan”
Pada jaman itu, kebenaran selalu dikaitkan pada orang Farisi. Orang” yang begitu taat dan menggali Taurat Allah, sehingga mereka tidak bercacat di hadapan taurat Allah. Karena itu saat mereka datang ke bait Allah, mereka tidak membawa korban apapun.
Ketika mereka datang, mereka mengangkat tangan yang kosong sambil mengucap syukur bahwa mereka tidak bercacat dan adalah umat pilihan, lahir dari keturunan suku Yehuda dari abraham.
Mereka bersyukur bahwa mereka adalah orang Farisi yang tidak bercacat, tdk seperti orang” Yahudi yang lain.
Filipi 3:4, Paulus mengakui pandangannya dulu sebagai orang Farisi yang sempurna. Namun masih tetap ada pertanyaan di golongan Farisi yang berbeda, siapa yang lebih sempurna?
Kubu 1: Shamai: “Taurat Tuhan itu kebenaran yang absolut, sehingga tidak boleh dipermainkan.”
Tidak boleh dipilih”, dikompromi. Kebenaran terlalu berharga untuk dibuang kepada babi. Kepada mereka yang tidak layak. Kebenaran hanya bagi umat Tuhan, bukan kepada orang kafir.
Kubu 2: Hilel: “Kebenaran terlalu berharga sehingga perlu diberitakan pada semua orang.”
Ajar Kepada semua orang, semua orang harus Tahu, biarlah Tuhan yang menentukan siapa yang akan menangkapnya dengan baik.
Kedua kubu ini pun yang akhirnya membuat tafsiran” yang berbeda satu sama lain. Yang satu adalah kebenaran literal yang satu adalah kebenaran relatif yang ditinggikan.
Hal ini yang menyebabkan mereka mengejar kitab suci itu, kebenaran itu, tapi tidak mencapai pada pengejaran kepada sang sumber kebenaran itu.
Belajar banyak, penggalian Firman yang kompeten, tau banyak, tidak menjamin bahwa kita bertumbuh.
Apakah yang sebenarnya kita pelajari, sungguh” mengubah hidup kita dihadapan Tuhan?
Artinya kita hanya menjadikan Firman itu sebagai ‘pajangan’ sebagai ‘koleksi’
Lapar dan haus bukan akan ‘koleksi’ kebenaran, tapi kita tidak membawanya pada kehidupan.
Kita menjadikan kebenaran hanya untuk dipelajari, dihadirkan di dalam kehidupan kita, tapi tidak dihidupi untuk mempertumbuhkan rohani kita, semakin mendekat kepada Tuhan.
Kita tidak merasa perlu untuk ‘feeling’ sudah ‘mendapat’ kebenaran. Mendapat, bukan mengalaminya.
Kalo bayi yang baru lahir makan setiap hari selama bertahun”, tapi setelah itu masih keadaannya sama, apakah makanan itu berguna?
Kenapa kita yang lapar dan haus akan kebenaran tidak pernah dipuaskan?
Karena selama ini kebenaran ini Hanya kita dengar, hapal, tapi kita tidak pernah mengalaminya di dalam hidup. Kita tidak pernah dikuasai oleh kebenaran itu, digairahkan oleh kebenaran itu.
Kepuasan itu bukan karena kita mengetahui kebenaran yang baru, menambah ilmu baru, tapi kepuasan bahwa Tuhan, sumber kebenaran itu kita alami, outweigh semua kebenaran yang kita pikir kita punya.
Hari ini kita menjadi orang yang muak dan menolak kebenaran.
Padahal Sebenarnya kita tidak pernah terlalu banyak belajar kebenaran. Tapi yang membuat kita muak dan tidak bertumbuh adalah kebenaran yang kita pelajari tidak dibiarkan menguasai hidup kita.
Kita memisahkan pembelajaran kebenaran ini dari seluruh keberadaan kita sebagai manusia.
Kita memisahkan kebenaran yang kita terima kepada segala aspek kehidupan kita yang terkecil.
Tidak heran kalau kita tiba” ditunjuk untuk bersaksi kerohanian kita, kita tidak sanggup ceritakan.
Ketika kita melakukan ‘pekerjaan” yang memuliakan Allah’ ini, kita hanya mengejar kata ‘done’. Tapi pertanggung jawaban akan kebenaran Tuhan yang kita boleh cari, seharusnya kita berusaha menghadirkannya dan mengembalikannya pada Tuhan melalui hidup kita.
Inilah lapar dan haus akan kebenaran: Mencari dan mengetahui apa yang benar, dan mengalaminya dengan memakai hidup kita untuk menghadirkan kebenaran Tuhan ini kepada dunia.
Yang sekecil apapun yang benar yang bisa dipersembahkan oleh kita kepada Tuhan, berikanlah pada Tuhan.
Comments